EKSPLANASI SEJARAH
(Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Sejarah)
Dosen Pembimbing : Drs. Kayan Swastika,M.Si
Di Susun Oleh :
Andi
Wahyudi (130210302028)
Moh.Hanif.I.N (130210302050)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014
KATA
PENGANTAR
Puji syukur
kehadirat Allah S.W.T atas segala rakhmat dan hidayah-Nya, serta tidak
lupa pula penulis
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut membantu penyelesaian makalah
ini, telah menyumbangkan pikirannya
demi kesempurnan makalah ini.
Pada
kesempatan kali ini pemakalah dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Eksplanasi
Sejarah”. Makalah
ini penulis susun dengan semaksimal mungkin
untuk memenuhi tugas mata
kuliah Filsafat Sejarah.
Penulis
berharap dengan adanya makalah ini dapat memberi manfaat bagi pemakalah dan para pembaca, untuk menambah pengetahuan
dan wawasan baru bagi kita semua.
Jember
, November 2014
Pemakalah
DAFTAR
ISI
HALAMAN JUDUL............................................................................................ i
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI........................................................................................................ iii
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang................................................................................. 1
1.2
Rumusan Masalah............................................................................ 2
1.3
Tujuan.............................................................................................. 2
1.4
Manfaat............................................................................................ 2
BAB 2. PEMBAHASAN
2.1
Pengertian
Eksplanasi Sejarah.......................................................... 3
2.2 Periodisasi........................................................................................ 5
2.3 Model-Model
Eksplanasi................................................................. 8
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan...................................................................................... 32
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 33
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penulisan sejarah merupakan salah satu
kegiatan akhir dari penelitian sejarah. Penulisan sejarah yang baik dan benar
sangat diperlukan agar penulisan sejarah tersebut dapat dimengerti dan dapat
dimaknai dengan tepat. Sehingga peristiwa sejarah yang telah ditulis dengan
baik akan sangat bermakna bagi manusia, bukan hanya sekedar dipahami dan
diketahui saja tentang peristiwa sejarah yang telah terjadi, melainkan juga
untuk menjadi pembelajaran diri. Dalam memahami
dan menelaah setiap peristiwa sejarah. Terlebih dahulu dipahami pentingnya
penjelasan atau keterangan yang mendukung dimungkinkan kita dapat menelaah
suatu peristiwa sejarah. Penjelasan atau keterangan metodolgi sejarah itu
disebut ekspalansi sejarah.
Eksplanasi adalah suatu proses yang menunjukkan peristiwa-peristiwa
tertentu dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa lain melalui penggunaan secara
tepat pernyataan-pernyataan yang bersifat umum (general statements). Eksplanasi sering dikenal dengan
istilah penjelasan dalam setiap kajian ilmiah. Menurut D. H Fischer, kata
eksplanasi sendiri berasal dari explain atau penjelasan; eksplanasi berarti
membuat terang, jelas dan dapat dimengerti. Dalam eksplanasi data, fakta maupun
fakta sejarah memegang peranan yang sangat penting. Data dan fakta ini berguna
bagi pen-diskripsian kerangka wacana dalam eksplanasi.
Ekspalansi sejarah merupakan
salah satu aspek yang sangat penting dalam metodolgi sejarah. Hal ini
dipergunakan untuk mengembangkan, menganalisis, dan menjelaskan hubungan diantara
pernyataan-pernyataan mengenai fenomena-fenomena yang ada. Dalam ilmu sejarah
yang merupakan kesepakatan para sejarawan dengan sebutan kausalitas (causations)
serta bentuk-bentuk penghubung lain (connections) yang digunakan oleh
para sejarawan ketika mereka menyintesis fakta-fakta
1.2.
Rumusan
Masalah
2. Apa
pengertian dari Eksplanasi Sejarah ?
3. Bagaimana
periodisasi atau pembabakan dalam sejarah ?
4. Apa
saja model-model dari eksplanasi sejarah ?
1.3.
Tujuan
2. Untuk
mengetahui dan memahami tentang pengertian Eksplanasi sejarah;
3. Untuk
mengetahui periodisasi atau pembabakan dalam sejarah;
4. Untuk
mengetahui model-model dari eksplanasi sejarah.
1.4. Manfaat
Makalah
ini dibuat dengan tujuan agar dapat memberi manfaat bagi pembacanya sebagai
tambahan ilmu dan informasi tentang eksplanasi Sejarah.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian
Eksplanasi Sejarah
Eksplanasi adalah suatu proses yang menunjukkan
peristiwa-peristiwa tertentu dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa lain
melalui penggunaan secara tepat pernyataan-pernyataan yang bersifat umum (general
statements). Arti penting dari eksplanasi sejarah sendiri adalah
menunjukkan kausalitas yang sesungguhnya mengenai suatu peristiwa sejarah.
Eksplanasi sejarah merupakan padanan
kata dari penjelasan sejarah atau keterangan sejarah. Fakta mengandung unsur
kepastian yang tidak dapat disangsikan, meskipun persoalan tentang fakta yang
tidak disangsikan kebenarannya dapat diperdebatkan. Memang harus kita sadari,
terdapat fakta-fakta yang dianggap kurang memadai untuk memunculkan suatu
peristiwa dengan kepastian.
Eksplanasi
sering dikenal dengan istilah penjelasan dalam setiap kajian ilmiah. Menurut D.
H Fischer, kata eksplanasi sendiri berasal dari explain atau penjelasan;
eksplanasi berarti membuat terang, jelas dan dapat dimengerti. Dalam eksplanasi
data, fakta maupun fakta sejarah memegang peranan yang sangat penting. Data dan
fakta ini berguna bagi pen-diskripsian kerangka wacana dalam eksplanasi. Penjelasan yang dilakukan dalam eksplanasi
memungkinkan para pembacanya untuk memahami dan mengerti akan maksud yang
terkandung dalam penjabaran tersebut. Dalam suatu peristiwa sejarah, hendaklah
bisa ditunjukkan unsur-unsur wujud peristiwa (what), pelakunya (who), tempat
terjadinya peristiwa (where), waktu kejadian (when), unsur mengapa atau latar
belakang kejadian (why) dan akhirnya pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut
bagaimana mungkin peristiwa itu bisa terjadi (how).
Dengan
sendirinya, penjelasan yang menyangkut why (mengapa) dan how (bagaimana)
terutama menjadi perhatian penting dalam keterangan sejarah, sebab di sinilah
kekhususan ciri-ciri sejarah itu bisa dilihat. Seperti halnya dalam jurnalisme
yang sangat menekankan 5 W + 1 H, maka begitupula eksplanasi dalam sejarah
menerapkannya. Dalam melakukan eksplanasi, semua ilmu bisa digunakan, baik itu
mengambil dari ilmu sosial, maupun dari ilmu sejarah itu sendiri. Demikian pula
dengan imajinasi dan logika. Semuanya berperan besar dalam proses eksplanasi
tersebut.
Tidak dapat
dipungkiri bahwa dalam eksplanasi inipun seorang sejarawan akan “berpetualang”
kembali dalam lautan imajinasinya. Tanpa “petualangan” tersebut, dapat
dipastikan banyak hal yang tidak bisa dituliskan, apalagi diterangkan. Seperti
yang dinyatakan oleh Collingwood, yang menekankan keistimewaan yang bisa
dilakukan oleh sejarawan terhadap objeknya dibandingkan yang hanya mampu
dilakukan oleh scientist, yaitu dengan jalan ”re thinking them in his own
mind”, (memikirkan kembali dalam pemikiran sejarawan sendiri). Dengan maksud
bahwa sejarawan mampu menerobos alam pikiran pelaku sejarah secara imajiner,
mencoba menempatkan dirinya ke dalam alam pikiran para pelaku sejarah yang
bersangkutan. Ini dianggap merupakan unsur pokok ke dalam “cara berfikir
historis” (historical thinking) yang menjadi dasar “cara menerangkan dalam
sejarah” (historical eksplanation).
Dalam eksplanasi
ini dapat dilihat adanya manfaat dari kematangan seorang sejarawan untuk dapat
merangkai semua data dan fakta yang diperolehnya untuk menjadikan sebuah
penulisan. Dalam eksplanasi inipun akan jelas terlihat bagaimana tingkat
kreatifitas sejarawan dalam membuka wacana para pembacanya. Penjelasan yang
baku seringkali ditingggalkan oleh para pembacanya. Sedang penjelasan yang
ringan tapi berbobot menjadikan para pembacanya seolah-oleh enggan untuk
meninggalkan bahan bacaan yang dibacanya. Di sinilah ajang pembuktian keahlian
seorang sejarawan dapat dibuktikan.
2.1.1. Eksplanasi dan Deskripsi
2.1.1. Eksplanasi dan Deskripsi
Deskripsi dan eksplanasi kerap dipersamakan. Padahal,
keduanya memiliki perbedaan. Deskripsi merupakan jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan faktual dalam peristiwa sejarah, meliputi apa (what), di
mana (where), kapan (when), dan siapa (who). Jawaban dari
pertanyaan tadi merupakan deskripsi faktual tentang sebuah peristiwa.
Di sisi lain, eksplanasi merupakan perluasan
pertanyaan faktual untuk mengetahui alasan dan jalannya sebuah peristiwa.
Mengapa (why) dan bagaimana (how)merupakan pertanyaan
analisis-kritis yang juga menuntut jawaban analisis-kritis yang bermuara pada
penjelasan atau sintesis sejarah. Dalam kaitannya dengan deskripsi, eksplanasi
dibangun atas deskripsi-deskripsi faktual karena eksplanasi tanpa deskripsi
adalah fantasi.
Secara tuntas deskripsi dan keterangan atau eksplanasi tidak dapat di bedakan satu sama lain. Sebuah laporan
faktual mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi pada bulan Agustus 1914 di
Eropa mengenai indikasi mengenai sebab meletusnya perang dunia I. Laporan itu
mengatur fakta-fakta tertentu, dapat memperlihatkan, bahwa baik mobilisasi
tentara Rusia maupun keinginan staf angkatan darat Jerman yang tidak mau buang
waktu, menentukan perkembangan seterunya. Mengingat hal itu, maka terdapat
filsuf-filsuf sejarah yang mengatakan bahwa secara prinsip mustahil membedakan
deskripsi dari keterangan. Menurut mereka, sederetan ucapan singular sudah
mampu menerangkan sesuatu atau mempunyai kemampuan eksplikatif. Akan tetapi,
biasanya para ahliberpendapat bahwa keterangan dan deskripsi secara hakiki
berbeda dari yang lain. Mereka bernalar sebagai berikut: keterangan-keterangan
historis, biasanya berupa”karena p, maka q (p dan q merupakan
deskripsi-deskripsi mengenai kedaan-keadaan pada masa silam). Misalnya ”karena
Bismarck ingin merongrong perjuangan partai sosialis maka ia menerapkan suatu
sistem jaminan sosial”.
Sementara itu, para sejarawan berpendapat lain
banwa eksplanasi dan deskripsi secara hakiki berbeda satu samalainnya. Hakekat
suatu eksplanasi sejarah selalu berkaitan antara dua deskripsi mengenai keadaan
pada masa silam. Kaitan tersebut selalu berobjek pada kedua deskripsita di
Sebuah eksplanasi bukan merupakan suatu deskripsi mengenai sesuatu dalam
kenyataan sejarah. Deskripsi itu merupakan rangkaian peristiwa dan terdapatu
nsur akibat yang ditimbulkan. Sejarah adalah ilmu yang terbuka. Maka
sejarawan harus jujur, tidak menyembunyikan data, dan bertanggung jawab
terhadap keabsahan data – datanya.
2.2. Periodisasi
Yang
dimaksud dengan periodisasi atau pembabakan waktu adalah suatu proses
strukturisasi waktu dalam sejarah berdasar pada pembagian atas beberapa zaman,
babak, atau periode. Peristiwa-peristiwa masa silam yang begitu banyak
dibagi-bagi dan dikelompokkan menurut sifat, unit, atau bentuk sehingga
membentuk satu kesatuan waktu tertentu. Maka, dapat dikatakan sejarawan
melakukan klasifikasi atas waktu, sejarawan membuat periodisasi.
Periodisasi dalam sejarah tidaklah
difahami sebagai suatu hal yang mutlak. Seorang sejarawan profesional dapat
saja membuat periodisasi sejarah dari sudut
pandang yang berbeda dalam versi
yang tidak sama. Memang, sejarah sebagai aktivitas manusia masa silam, sejarah
sebagai suatu proses tidak mengenal batas-batas yang tegas dan pasti, lebih-lebih yang menekankan semata-mata
pada angka, tanggal, bulan, dan tahun peristiwa. Menulis sejarah yang
menyangkut masalah politik dan ekonomi memungkinkan kita lebih mudah mencari
tahap-tahap peralihan. Akan tetapi, hal serupa akan sulit dilakukan jika kita
telah menulis sejarah kebudayaan dan sosial.
Memahami, mengerti, dan mengetahui
periodisasi sangat bermanfaat bukan hanya bagi sejarawan tetapi juga bagi
pembaca, pemerhati, dan penggemar sejarah apalagi bagi para siswa dan mahasiswa
yang belajar pengetahuan sejarah. Cerita sejarah yang ditulis sejarawan dengan
menempatkan skenario peristiwa sejarah bukan dalam setting babakan waktu, akan sangat memudahkan serta menarik para
pembaca mengetahui peristiwa sejarah secara kronologis.
Sangat jelas bahwa periodisasi adalah
merupakan konsep sejarawan semata-mata, suatu produk mental yang hanya ada
dalam pikiran sejarawan, suatu ideal type.
Realitas sejarah itu sendiri terus-menerus mengalir tanpa dibatasi sekat-sekat
dan babakan waktu adalah hasil konseptualisasi sejarawan, suatu rasionalisasi. Rasionalisasi
bukan generalisasi. Generalisasi lahir dari penulisan teoritis, sedangkan
generalisasi adalah dari gejala empiris.
Periodisasi sekalipun sebagai produk pemikiran
sejarawan, tidaklah diputuskan secara sembarangan, semena-mena. Periodisasi
adalah hasil pemikiran komparatif antara satu periode dengan periode lainnya setelah sejarawan melihat ciri khas
suatu kurun sejarah. Selebihnya, sejarawan juga menandai adanya perubahan
penting yang terjadi dari periode sejarah yang satu ke periode sejarah yang
berikutnya. Sebagai contoh kita ambil periodisasi dalam sejarah Eropa atau
Barat misalnya, membagi sejarah dalam tiga periode atau zaman, yakni zaman
klasik, abad pertengahan dan abad modern.
Harap diperhatikan bahwa ada perbedaan
bagi setiap aspek sejarah dalam luasan wilayah rentang waktu dan variasi.
Sebagai contoh feodalisme yang muncul pada middle age mempunyai rentang waktu
yang lebih lama, sampai abad ke-18, jauh sesudah modern age. Katolikisme yang
menjadi agama universal pada middle age mengalami Schism (keretakan), timbul
varian-variannya, protestanisme Jerman, Perancis (Huguenots), dan Inggris
(Angicanisme).
Seperti kita ketahui, masih ada alasan
lain, mengapa para sejarawan dan ahli filsafat sejarah tertarik pada
skema-skema periodisasi. Konsep-konsep sejarah selalu mengungkapkan keberkaitan
yang ingin ditunjukkan dalam masa silam. Dalam keberkaitan itu setiap unsur
atau aspek dalam masa silam, disediakan tempatnya sendiri dalam bagian masa
silam yang diteliti. Mengingat hal itu, maka dapat dipertahankan, bahwa makna
dan arti setiap unsur atau aspek itu tergantung pada tempat di dalam
keseluruhan proses sejarah. Peristiwa-peristiwa itu ditempatkan dalam proses
sejarah.
Dalam membahas masalah periodisasi
terdapat beberapa kritik yang dilontarkan oleh filsuf sejarah. Mereka
mengatakan bahwa membagai sejarah Eropa menjadi tiga periode, yakni zaman
Klasik, abad pertengahan dan Zaman Modern, berarti akan menyayat-nyayat masa
silam. Tetapi, di dalam masa silam tidak ada jahitan. Periodisasi telah
mengadakan diskontinuitas-diskontinuitas dalam proses sejarah yang bersifat
kontinu. Periodisasi memperkosa masa silam. Ambilah contoh istilah abad
perterngahan yang telah dipaparkan oleh Cellarius misalnya timbul perdebatan,
kontroversi, dan paradoksal.
Sejarawan selalu memperhatikan
penyusunan cerita sejarah dalam karyanya secara kronologis, yakni dalam
periode-periode waktu. Tetapi, perlu pula diperhatikan bahwa periodisasi dapat
dan seringkali bersifat sewenang-wenang. Kesewenangan itu yang paling menonjol
sebutan atau istilah seperti abad Metternich, Abad Kemajuan, Zaman Revolusi
Industri, Zaman Pencerahan, jika kita tidak berhati-hati dalam memahami istilah
atau sebutan itu dapat berakibat bahw apa yang dilukiskan mewakili zaman yang
ada. Terlalu mudah memberikan sebutan-sebutan dapat memberikan kesan, bahwa
perkembangan atau cerita-cerita yang menonjol itu tidak terdapat pada zaman
laindalam proporsi yang mencolok atau bahkan zaman-zaman yang ditonjolkan
semacam itu tidak dapat disebut dengan nama akuratnya. Harap diperhatikan,
tidak ada satupun zaman yang dapat disebutkan dengan memberikan satu sifat
tunggal yang ekslusif.
Periodisasi yang terdapat dalam
historiografi Barat yang bersifat konvensional, juga ditemukan pada
historiografi Indonesia. Seperti diketahui, sejarah Indonesia dapat pula dibagi
kedalam tiga bagian, yakni Prasejarah, Hindu-Budda, dan Modern. Dalam
periodisasi tersebut juga terdapat perbedaan aspek-aspek sejarah dalam luasan
wilayah, rentang waktu, dan Variasi. Periodisasi merupakan narasi sejarawan,
bukan masa silam itu sendiri, terdapat perbedaan-perbedeaan perkembangan sejarah, dan ada diskontinu dan
kontinu.
2.3
Model-Model
Eksplanasi
Model dari eksplanasi sejarah sendiri
cukup bervariasi, di antaranya seperti yang terdapat dalam buku F.R Ankersmit,
terdapat tiga model eksplanasi,yaitu model CLM, Model Hermeneutika, dan
Kausalitas.
2.3.1.
“Covering Law Model” (CLM)
David Hume, seorang filsuf dari Skotlandia (1712-1776)
merumuskan modul pertama mengenai clm. Pada abad ke -18 banyak orang
terkesan oleh prestasi-prestasi yang telah di capai oleh ilmu alam. Maka masuk
akal kalau ada ide untuk menerapkan metode-metode dan penelitian ilmu alam
terhadap masyarakat manusia. Ada pertimbangan-pertimbangan lain yang ikut
memainkan peranan. Seperti alam raya tetap sama, tetap setia trhadap kodratnya,
demikian pula kodrat manusia tidak dapat berubah. Seperti alam diatur oleh hukum-hukum
tertentu, demikian pula perbuatan-perbuatan manusia tunduk kepada
prinsip-prinsip tertentu yang “konstan dan universal”, demikian tulis Hume.
Hume menganjurkan agar metode-metode yang di gunakan dalam ilmu alam juga
diterapkan terhadap perbuatan manusia.Auguste Comte eorang filsuf dari abad ke-
19 (1798-1857) berpendapat bahwa cara kerja seorang peneliti sejarah harus sama
dengan metode kerja seorang peneliti alam raya. Itulah yang di rumuskan Comte
dengan istilah “Positivisme”. Bila di rumuskan secara umum maka menurut
positivisme hanya terdapat satu jalan dalam memeperoleh pengetahuan yang benar
dan dapat di percaya, entah apa objek penelitian kita (alam hidup, alam mati,
sejarah dan sebagainya), yakni menerapkan metode-metode ilmu eksata.
Contoh CLM yang menerangkan ala Hempel yakni: mengapa
seorang tokoh Belanda sudah menyerah pada tanggal 8 Maret 1942 kepada panglima
Jepang? kedua premis yang menghasilkan suatu keterangan berbentuk sebagai
berikut:
a) Selalu bila musuh
menyerang dengan kekuatan militer yang lebih unggul, khusus di udara maka
perlawanan dihentikan,
b) Tentara Jepang dengan jelas
memperlihatkan bahwa lebih unggul dari tentara Belanda.
Kesimpulan dapat ditarik peristiwa
yang ingin kita terangkan (eksplanadum) diterangkan dengan memuaskan
(eksplanans).Diatas di bicarakan jenis peristiwa-peristiwa tanda-tanda yang di
gunakan (C1,C2,...), serta E (event)menunjukka peristiwa-peristiwa itu. Kadang-kadang dengan
salah satu objek terjadi sesuatu, misalnya Tentara Jepang melihatkan
keunggulannya, dapat di gunakan simbol X (C1,C2,C3,...) dan XE. Objek X yang
mempunyai sifat-sifat C1,C2,C3, dan E. Dapat di rumuskan kembali sebagai
berikut:
1) X (C1,C2,C3,.....) XE
2) X (C1,C2,C3,.....)
XE
Yang di baca sebagai berikut :
1) Bagi semua X (yakni
semua barang yang berupa X), berlaku pola hukum bahwa bila mempunyai
sifat-sifat C1,C2,C3, dan seterusnya juga mempunyai sifat E
2) Teryata X mempunyai
sifat-sifat C1,C2,dan seterusnya.
3) Jadi X juga mempunyai
sifat E
Supaya CLM dapat kita tafsirkan
dengan tepat maka perlu di pertimbangkan sebagai berikut:
a)
Skema penalaran CLM diasalkan dari logika
formal dan terkenal sebagai kaidah “modus ponen” skema
penalaran yang berjalan dari (1) ke (2) kemudian ke (3) hendaknya di bedakan
dari ucapan di bawah (1) yang tercakup oleh (1) menunjukkan suatu pola hukum
empiris, tidak niscaya benar secara logis. Bukan logika melainkan pengamatan
empiris. Sifat logis sebuah skema penalaran jangan di kacaukan dengan isi empiris
dalam ucapan (1), (2), (3). Karena dalam CLM eksplanadum disimpulkan lewat
sebuah deduksi logis dari sebuah ucapan nomologis (nomos = hukum, yang bersifat
pola hukum), maka CLM juga sering di sebut “modul deduktif-nomologis”.
b)
Semua pola
hukum yang muncul dalam premis pertama, harus di konfirmasikan
(diperkuat,diakui) oleh semua fakta yang kita kenal dan yang relevan atau
sekurang-kurangnya tidak berlawanan dengan fakta itu. Andaikata
kita mengetahui dari sejarah bahwa terdapat sejumlh bangsa yang tidak menyerah
kalah, sekalipun dilawan oleh musuh yang unggul secara militer, maka pola hukum
yang menerangkan mengapa pihak Belanda demikian cepat menyerah kalah terhadap
tentara jepang, tidak boleh kita pergunakan.
Dalam kedua
kaitan inikedua pola hukum “semu” perlu di tolak. Misalkan akan pola hukum
segala sesuatu yang terjadi adalah takdir Tuhan. Keberatan terhadap pola hukum
ini bukan karena bertentangn dengan fakta-fakta yang kita ketahui melainkan
justru karena hukum ini tak pernah dapat bertentangan dengan fakta-fakta. Baik
terjadi peristiwanya P maupun tidak
terjadinya P dapat diterangkan dengan
pola hukum bahwa segala sesuatu terjadi menurut takdir Tuhan. Dengan pola hukum
ini apa saja dapat diterangkan. Akan tetapi pola hukum serupa itu tidak bisa
membantu kita, bila kita ingin memperdalam pengetahuan kita mengenai masa
silam, kita menanyakan sebab musabab mengapa ini terjadi dan bukan itu. Pola
hukum ini membuktikan terlalu banyak dan sesuai dengan sebuah pepatah Perancis
barang siapa ingi membuktika terlau banyak tidak membuktikan apapun. Selain
itu, bukan pola hukum atau kebenaran melainkan kegunaan pola hukum itu dalam
penelitian sejarah yang kita permasalahkan. Mungkin juga pola hukum itu benar
atau sah, tetapi itu merupakan masalah bagi para teolog dan metafisisi. Yang
menentukan ialah dalam praktek pengkajian sejarahpola hukum semu iti tidak
dapat di pergunakan.
c) Pola pola hukum selalu
mengungkapkan bahwa suatu peristiwa (sebab) di susul oleh suatu jenis peristiwa
lain (akibat). Dua macam peristiwa selalu kita amati bersama-sama.
Seketika itunkita menyadari hal itu maka kita mengerti bahwa dalam menentukan
dan merumuskan pola-pola hukum kita mudah sekali tergelincir. Misalnya sebagai
berikut : selalu, bila terjadi kecelakaan lalu lintas, terjadi dua akibat. Kita
dengar suara terbenturnya dua buah besi, kemudian kita lihat kedua buah mobil
itu reyot-reyot. Berhubung kedua akibat itu selalu terjadi bersama-sama, maka
kita tergoda untuk mengadakan hubungan kausal antara dua akibat itu. Suara
menyebabkan kereyotan atau sebaliknya. Bila kita menyusun pola-pola hukum kita
harus menghindari ketololan serupa itu. Tidak semudah seperti kecelakaan lalu
lintas tadi. Kadang-kadang sukar sekali menentukan dalam praktek apakah kita
berhadapan langsung dengan hubungan sebab akibat atau dua akibat yang di
timbulkan oleh satu sebab.
d) CLM membuka jalan untuk menerangkan peristiwa-peristiwa sejauh
peristiwa itu termasuk satu jenis peristiwa tertentu. Ini berarti bahwa
dengan modul CLM sebuah peristiwa tidak pernah di terangkan dalam segala
kompleksitasnya dan segala keunikannya tetapi hanya sejauh peristiwa itu
mempunyai sifat-sifat tertentu sehingga termasuk dalam suatu kategori atau
jenis peristiwa yang selalu mempunyai sifat-sifat itu bersama-sama. Ini
terlihat ketika kita merumuskan kembali CLM. Dalam perumusan kembali itu kita
peristiwa unik atau hal-hal individual.
Dengan kata lain CLM hanya menerangkan peristiwa-peristiwa sejauh itu
berkenaan dengan aspek-aspek dalam dalam peristiwa itu yang secara eksplinsit
disebut dalam pola hukum. Misalnya mengenai kapitulasi belanda pada bulan Maret
1942. Huum umum yang kita gunakan dalam peristiwa itu hanya menyebut
kapitulasi-kapitulasi bila terjadi konfrontasi bila terjadi kekuatan militer
yang jauh lebih unggul. Keterangan sesuai
CLM hanya menerangkan aspek-aspek lain dalam peristiwa itu dan apakah
kapitlasi itu bagi seluruh wilayah Hindia Belanda. Ini tidak berarti
aspek-aspek itu tidak dapat di terangkan melainkan bahwa untuk diperlukan
pola-pola hukum lain. Akan tetapi peryataan ini di tafsirkan. Bahkan
peristiwa-peristiwa tidak dapat diterangkan dalam segala kompleksitas dan
individualitasnya yang unik, tidak berarti, bahwa dengan bantuan modul CLM
tidak dapat diterangkan peristiwa-unik dan individual.
e) Dalam
CLM tidak dikatakan apapun mengenai kedudukan si juru penerang, dalam arus
waktu terhadap peristiwa yang di terangkannya. CLM tidak mengatakan apakah
peristiwa yang diterangkannya terjadi pada masa silam, masa kini, atau pada
masa depan. Maka dari itu dapat di bayangkan bahwa CLM di gunakan untuk
mengadakan ramalan-ramalan tertentu mengenai masa depan. Bila kita
mempergunakan modul CLM maka keterangan-keterangan mengenai peristiwa-peristiwa
pada masa silam dan ramalan-ramalan mengenai masa depan mempunyai struktur yang
sama. Bila di pandang dari sudut itu maka sebuah keterangan dapat di namakan
suatu ramalan sudah terjadi peristiwa (factum). Kata ramalan disebut “preiksi”
maka sebuah keterangan historis juga dapat di namakan suatu retodiksi
(retro=belakangan, kembali). Berbicara mengenai ramalan-ramalan perlu di catat
suatu kesukaran. CLM hanya menerangkan beberapa aspek dalam
peristiwa-peristiwa. Akibatnya bahwa dengan CLM juga hanya dapat meramalkan
beberapa aspek mengenai masa depan. Mengenai krisis-krisis internasional yang
diramalkan tidak dapat dikatakan apapun mengenai sifat dan keseriusannya.
Tetapi berdasarkan CLM kita hanya dapat mengatakan sesuatu yang sangat umum
mengenai masa depan. Ramalan mengenai masa depan tidak berkaitan dengan
peristiwa-peristiwa unik dan individual seperti halnya dengan keterangan
mengenai peristiwa pada masa silam.
f) Kemudian, kita harus mencatat sesuatu mengenai sifat dan jangkauan
pola-pola hukum yang di pergunakan dalam CLM. Dalam filsafat sejarah
spekulatif seperti marxisme disebut mengenai adanya pola-pola hukum umum yang
menguasai proses sejarah. Akan tetapi para penganut CLM menyusun teori-teori
mengenai pola-pola hukum umum. Hempel mendevinisikan pola hukum umum sebagai sebuah
ucapan universal, tetapi kondisional yang dapat di benarkan atau di bantah
menurut pengamatan empiris. Pola hukum umum yang diamati marx dalam proses
sejarah ialah sejarah melewati beberapa tahap (dunia klasik, feodalisme,
masyarakat borjuis kapitalis, kemudian sosialisme). Pola-pola hukum umum
seperti di maksudkan oleh para penganut CLM selalu berkaitan dengan apa yang
dapat terulang kembali dalam kenyataan historis dan rumusnya selalu berbunyi
“selalu, jika,..maka...”. ini berarti bahwa jangkauan pola hukum seperti di
maksudkan oleh para filsuf sejarah spekulatif berkaitan dengan garis besar
dalam seluruh proses sejarah sedangkan keterangan-keterangan mengenai
peristiwa-peristiwa singular danindividual, dengan sendirinya lebih terbatas
jangkauannnya.
g) Jangkauan pola hukum dalam modul CLM oleh WH Dray dan M. Mandelbaun di
batasi lagi. Pola hukum hanya meliputi bagian-bagian dalam peristiwa yang
harus di terangkan tetapi tidak peristiwa itu sendiri. Kebanyakan kasus seorang
peneliti sejarah praktis dipaksa menempuh jalan seperti disarankan oleh Dray
dan Mandelbaum. Misalnya mencari sebab-sebab melakukan proses dekolonisasi.
Sesudah perang dunia dunia II maka dengan sia-sia akan mencari pola-pola umum
bagi proses dekolonisasi. Akantetapi proses dekolonisasi yang majemuk itu dipecahkannya
menurut komponen-komponennya maka ia berhadapan dengan sejumlah peristiwa yang
saling dapat di kaitkan dengan pola-pola hukum (sebagai akibat dari perang
duniaII negara-negara kolonial tida kuat lagi kedua negara adikuasa tidak
memiliki koloni-koloni oleh karena itu tidak berminat mempertahankan tata
pemerintahan kolonial, nasionalisme di daerah-daerah jajahan merongrong
kekuasaan negara-negara kolonial dan seterusnya).
h) Hempel melihat bahwa para ahli sejarah jarang atau tak pernah
memberikan keterangan-keterangan yang seratus persen serasi dengan
syarat-syarat CLM. Demikian para ahli sejarah jarang menyebut pola hukum
umum yang menjadi dasar penalaran mereka. Seorang ahli sejarah membatasi diri
pada ucapan “ karena raja George I dan II ( yang berasal dari Hanover) kurang
berminat terhadap kejadian-kejadian di Inggris, maka kekuasaan parlemen dapat
di perluas dengan mengurangi kekuasaan raja. Para ahli sejarah tidak pernah
menyebut pola hukum itu karena demikian gamblang, sehingga oleh pembaca sendiri
dapat diandaikan. Maka dari itu, kata Hempel keterangan-keterangan historis
biasanya hanya berupa keterangan dalam bentuk sketsa, artinya masih harus
dirinci dan dilengkapi. Sebetulnya tak ada keberatan bila perincian itu tidak
dilakukan tetapi pada prinsipnya harus terbuka jalan untuk mengadakan perincian
itu supaya keterangan yang bersangkutan dapat diterima.
2..3.1.1
Perbaikan – perbaikan dalam CLM
Barang siapa
tanpa prauga memandang tulisan-tuklisan sejarah tidak akan menjumpai dengan
banyak tulisan yang memenuhi syarat-syarat CLM. Adapun tugas filsafat sejarah
memberikan kesan bagaimana serang peneliti sejarah bertindak bukan untuk
mengguruinya. Sebagai akibat adanya jarak antara praktek pengkajian sejarah dan
CLM yang murni maka di usulkan dalam perbaikan dalam modul CLM itu. Usul-usul
terpenting akan di bahas di bawah ini:
a)
Keterangan probabilitis. Pencairan
pertama di sebut keterangan probabilistis ( probabilis = masuk akal, bisa juga
terjadi begitu). Dalam CLM yang asli di tuntut pola-pola hukum yang universal
yaitu pola-pola hukum yang mencakup semua kasus (peristiwa yang satu selalu di
susul di susul dengan jenis peristiwa lain). Akan tetapi dalam bidang kelakuan
manusia nampaknya agak kurang realistis menuntut adanya pola-pola hukum
universal setiap pola hukum dalam kelakuan dan perbuatan manusia dapat di
terobos perkecualian-perkecualian. Misalnya pada tahun 1975 republik Belanda
hanya memberi perlawanan terbatas ketika di masuki oleh pasukan-psukan
Perancis. Siasat yang paling mudah dalam kasus-kasus itu ialah melacak. Pola
hukum yang tidak benar atau kurang tepat dapat diganti dengan satu atau
beberapa pola hukum yang selaras dengan fakta-fakta yang kita ketahui. Misalnya
dalam kasus diatas pola hukum “ setiap bagsa akan melawan musush dari luar
negeri” dapat diganti dengan dua pola hukum lain.
1) Bila bangsa yang satu
bermaksud untuk menaklukkan bangsa lain, maka bangsa lain itu akan memberi
perlawanan.
2) Bangsa-bansa tidak(
atau kurang kuat) memberi perlawanan terhadap pnyerang dari luar, bila pihak
penyerang itu dianggap akan membawa kemerdekaan politik.
Dengan pola hukum kedua sikap republik Belanda
terhadap Perancis dapat diterangkan secara memuaskan. Singkatnya, pertentangan
antara peristiwa yang harus diterangkan di satu pihak dan pola hukum umum yang
sepintas kelihatan relevan di lain pihak dapat mengajak kita untuk memperluas
perangkat pola=pola hukum umum serta merincikannya, sehingga peristiwa yang
semula menyeleweng dari pola hukum itu akhirnya dapat diterangkan dengan sebuah
pola hukum umum.
Harus diakui siasat ini memepunyai segi-segi negatif.
Dalam keadaan serupa itu kita harus puas dengan pola-pola hukum yang memberi
peluang bagi kekecualian. Pola hukum serupa itu di sebut pola hukum
probabilitas artinya pola-pola hukum yang dengan “kepastian” statistik
mengaitkan sebab tertentu dengan akibat tertentu. Struktur keterangan
probabiltas sebagai berikut:
(1) P/ (C1,C2,C3,...) E/adalah tinggi
(2) C1,C2,C3,...
(3) E
Berhubungan dengan apa yang di katakan di atas
tadimaka rumus ini dapat di tulis kembali sebagai berikut:
(1) p/X (C1,C2,C3,...) XE/adalah tinggi
(2) X (C1,C2,C3,1,...
(3) XE
Dalam peryataan (3) di tetapkan bahwa X mempunyai
sifat E inilah eksplanadum. Explanans terdiri dari premis (1)dan (2).
Berdasarkan premis ini sangat masuk akal (probabilis) bahwa X akan mempunyai
Sifat E. Premis pertama menyatakan keboleh jadian statistis, bahwa bila X
mempunyai sifat-sifat C1,C2,C3,..., maka X
juga aan mempunyai sifat E. P menunjukkan taraf keboleh jadian (probabilitas).
P mempunyai 0 sampai 10, dikalikan 100 menunjukkan presentase bagi kasus-kasus
bilamana Xmempuyai sifat C1dan seterusnya lalu juga mempunyai sifat
E. Misalnya p bernilai 0,8 maka dalam 80 persen dari jumlah kasus yang di
teliti sebabnya termasuk dalam hukum probabilitas akan di barengi oleh akibat
yang dinamakan konsekuen. Dalam keterangan probabilistis dikatakan bahwaX
mempunyai sifat C1 dan seterusnya boleh jadi juga merupakan keterangan tepat
bahwa pada suatu saat tertentu juga mempunyai sifat E. Berbeda dengan
probabilitas yang dintunjukkn oleh p dalam premis pertama. Dalam premis pertama
kita berurusan dengan ucapan bahwa suatu keterangan tertentu sangat masuk akal
boleh jadi merupakan keterangan yang benar. Dalam kasus kedua kita berhadapan
dengan ucapan berapa seringnya dua gejala atau kenyataan historis selalu
bersama-sama. Kita harus membedakan keterangan di satu pihak dan gejala
historis di pihak lain.
b)
Perbaikan yang di usulkan oleh
Gordiner.
Perbaikan CLM yang di usulkan oleh Gordiner seorang
Filsuf sejarah Inggris mirip dengan perbaikan probabilistis. Gardiner
mengatakan bahwa pola-pola hukum yang di pakai oleh para peneliti sejarah
sering “bocor” tidak tertutup rapat seratus persen. Karena adanya perkecualian
maka setiap pola hukum ada kebocorannya. Maka dari itu Gardiner seorang
peneliti sejarah harus menerangkan masa silam dengan pola hukum yang
berlubang-lubang sesedikit mungkin. Menerangkan masa silam menuntut seorang
ahli sejarah, bakat(yng sukar di devinisikan) untuk menaksir sifat situasi yang
ingin di terangkansuatu bakat untuk menilai .
Dalam praktek pengkajian sejarah
seorang peneliti sejarah akan selalu berusaha melukiskan masa silam sedemikian
rupa, sehingga dapat ditemukan pola-pola hukum
yang masuk akal paling dapat diandalkan dan paling umum yang dapat dikaitkan
dengan deskripsi-deskripsi menurut syarat-syarat CLM. Sebuah contoh yang
diajukan Danto dapat menerangkan hal ini. Bayangkan bahwa kita pada suatu hari
tertentu lebih dari tiga puluh tahun berjalan-jalan di kota Monako lalu melihat
di mana-mana bendera Monako selalu dikibarkan bersama dengan bendera Amerika
serikat. Kita lalu bertanya mengapa orang Monako bebuat demikian bila
eksplanadum dirumuskan sebagai pada saat ini dan dikota ini orang-orang monako
selalu mengibarkan benderanya bersama dengan bendera AS, maka dalam rumusan itu
tidak terdapat suatu hukum umum yang dapat menerangkan eksplanadum ini. Dalam
peristiwa sejarah jarang atau tidak ernah terjadi orang-orang Monako
mengibarkan bendera negaranya bersamaan dengan bendera AS. Tetapi bila
eksplanadu ini di rumuskan dengan umum dan tidak begitu terperinci misalnya
para penduduk suatu negara menghormati negara lain (dengan mengibarkan bendera
negara itu) maka tersedia suatu pola hukum umum yang dapat diandalkan. Kit
dapat membayangkan suatu pola hukum umum atau hukum probabilitas selau bila
raja suatu negara menikah dengan putri suatu negara lain maka para penduduk
negara pertama menghormati negara lain. Dalam deskripsi-deskripsinya sorang
ahli sejarah harus mencari budang yang sempit tewtapi paling optimal antara
yang umum dan yang khas sambil memperlihatkan di mana ia akan menerangkan
keadaan-keadaan perkembangan-perkembangan serta situasi-situasi.
c) Perbaikan yang di usulkan oleh
Scriven dan White,
M. Scriven dan M. Whitefilsuf sejarah dari Amerika.
Perbaikan jauh menyimpang dari modul CLM yang asli sehingga dapat di
pertanyakan sejauh mana ini masih sebuah varian CLM. Scriven berpendapat tidak,
karena pada pokok usulnya merupakan suatu perbaikan terhadap CLM dan ia sendiri
tidak mengembangkan sebuah modul keterangan yang baru. Yang menjadi titik
pangkalnya ialah usul yag menerangkan eksplanans menurut CLM di bagi menjadi
dua. Bagian eksplanans yang menyebut sebab bagi suatu peristiwa atau keadaan
yang harus diterangkan ( yatu premis kedua dalam keterangan CLM) menurut Scriven
dan White merupakan keterangan pokok bagi eksplanadum. Sisa eksplanans pola
hukum umum atau probabilistisyang disebut dalam premis pertama membenarkan atau
mmberi legitimasi kepada keterangan yang di sajikan tanpa melupakan bagian
keterangan tersebut.
Setelah CLM di perbaiki menurut usul
Scriven dan White segala daya keterangan mereka pusatkan kepada peryataan yang
menyebut sebab bagi suatuperistiwa dengan pola hukum dikurangi di jadikan
semacam asuransi sesudahnya. Contoh dalam bukunya yang tersohor mengenai
masyarakat feodal (la societe feodal) M. Bloch mengatakan bahwa sekitar 1000
bangsa Norman terhenti karena mereka pada waktu itu memeluk agama kristen.
Secara formal kita tidak mempunyai keberatan terhadap keterangan tersebut ,
sekalipun kita tahu bahwa kasus yang berlawanan dengan pola hukumbahwa orang
kristen tidak saling berperang. Yang pokok ialah suatunketerangan historis
selalu menyebut sebab suatu kejadian sekalipun kita masih menyangsikan pola
hukum yang menjamin bahwa keterangan historis itu dapat di percaya ini tidak
meniadakan kenyataan bahwa telah disajikan keterangan historis. Dengan kata
lain bahwa pola-pola hukum yang digunakan tidak seratus petak rsen dapat
diandalkan dan dalam pengkajian praktek sejarah ini selalu tejadi tidak menggugurkan
ketepatan suatunketerangan historis. Scriven
lebih mencairkan CLM dari pada yang dilakukan oleh White. Pola-pola
hukum ini atau Scriven di sebut Truismatau generalisasi normis. Kaidah=kaidah
umum yang kita kenal dari hidup sehari-hariyang normal yang biasa. Pola-pola
hukum itu samar-samar tidak terinciberkaitan dengan peristiwa-peristiwa yang
sepeledan kebal terhadap falsifikasi.
2.3.1.2. Kritik terhadap CLM
Dibawah ini dilukiskan beberapa
keberatan sementara yang di ajukan oleh seorang filsuf sejarah terhadap CLM.
a) Jarak
antara eksplanans dan eksplanandum. Secara khusus seorang filsuf sejarah dari
Kanada W. H. Dray mati-matian menyerang CLM. Dalam keterangan CLM sebuah
peristiwa tidak pernah di terangkan dalam segala kompleksitasnya melainkan dalam
sebuah deskripsi yang cocok. Pola-pola hukum yang terdapat di CLM selalu dapat
di perhalus sehingga jarak antara eksplanans dan eksplanandum makin di
perkecil. Terdapat sisi negatifnya yakni keshihan pola hukum yang di pergunakan
lalu berkurang makin hukum umum di dekatkan dalam peristiwa sejarah yang
konkret.
(1) Pola hukum itu makin
menjadi terinci dan makin besar kemungkinan bahwa ia dapat di falsifikasi(hukum
umum selalu aman)
(2) Jumlah peristiwa
sejarah yang apat dijadikan batu ujian bagi kesahihan sebuah pola hukum semakin
berkurang
Jadi, enggan memperkecil jarak
antara eksplanas dan eksplanandum kita memperbesar ketidak andalan pola
hukumyang di pergunakan serta keterangan yang didasarkan atas pola hukum itu.
Dengan demikian di tuturkan oleh Dray penganut CLM di hadapkan dengan dilema
atau melakukan penelitan dengan mempergunakan pola-pola hukum yang
samar-samardan umum yang relatif dapat diandalkan tetapi tidak banyak
menerangkan atau mempergunkan pola-pola terinci yang relatif lebih banyak yang
menerangkan tetapi kurang dapat dipercaya. Contoh ketika louis XIV meninggal ia
tidak dicintai rakyat karena tidak memperlihatkan kepentingan rakyat. Tokoh CLM
menanggapi bahwa keterangan tersebut hanya dapat di terima berdasarkan pola
huku andalan yakni selalu bila serang raja tidak memperhatkan kepentingan
rakyat maka ia tidak di cintai rakyat waktu ia meninggal. Sejarawan menyadari
pola hukum yang samar itu tidak dapat di pertahankan. Richard Lionheart
merugikan negaranya tetapi ia di cintai oleh rakyat Inggris. Ketika Louis XIV
meninggal tidak di cintai rakyat karena kurang memperhatikan kepentingan rakyat
dan karena dalam hal agama ia melakukan kebijakan yang kaku(mencabut endik
nantes).
b) Keberatan terhadap pola hukum
probabilistis. Dapat diajukan keberatan sebagai berikut. Dengan pola-pola huku
probabilistis dapat di terangkan mengapa dalam sekian persen sejumlah kasus
sebab tertentu disusul akibat tertentu tetapi tidak di terangkan apa yang
terjadi dalam kasus-kasus individual. Bagi peneliti sejarah hukum-hukum
probabilistis atau statistik kurang memadai.
c) Sifat formal dalam
CLM. CLM merupakan kriterium yang semata-mata formal agar suatu keterangan
historis dapat di terima.
d) Keberatan faucault. Keberatan
terakhir dan paling dasyat terhadap CLM dilancarkan oleh seorang ahli filsafat
dan sejarah berkebangsaan Perancis. Foucoult tidak secara eksplinsit melawan
CLM. Seorang ahli sejarah merasakan puncak kepuasan bila bagaikan dalam sabetan
kilaf melihat keberlainan itu Huizinga seorang ahli sejarah kebudayaan terkenal
berbicara mengenai sensasi historis dan ia melukiskan itu sebagai bentuk
ekstasis (keluar dari kulitnya sendiri) .
2.3.2.
Hermeneutika
Istilah
hermeunetika apabila diruntut secara etimologis, asal usul kata hermeunetika
berrasal dari bahasa Yunani yaitu herminos
yang mengacu pada seorang pendeta bijak Delpich. Kemudian diasosialisasikan
pada Dewa Hermes, sebagai dewa penemu bahasa dan tulisan. Dewa Hermes dalam
mitologi Yunani kuno dikaitkan dengan pembawa pesan takdir.
Hermeunetika sebagai suatu teori banyak menyangkut
pada garapan atau bidang teoligi, filsafat bahkan sastra. Hermeunetika
didefinisikan sebagai studi tentang prinsip-prinsip metologi, interpretasi, dan
eksplanasi khususnya studi tentang prinsip – prinsip interpretasi bibel.
2.3.2.1 Dua
Bentuk Hermeneutika
Sejarah hermeneutika kita awalkan dengan Frederich
Scheleirmarcher (1768-1834), seorang ahli Theologia Jerman. Selaku seorang
Teolog Scheleimarcher tertarik oleh persoalan, bagaimana teks-teks tertentu
dari alkitab harus ditafsirkan. Maka dari itu, Scheleimarcher mempergunakan
istilah “hermeneutika” (dalam bahasa Yunani “hermeneus” berarti penerjemah). Jalan hermeuneus itu hendaknya
ditempuh bila ingin menjelaskan bagian-bagian alkitab yang sepintas kelihatan
sukar dan bahkan mustahil untuk dimengerti.
Diterangkan di sini perbedaan antara Hermeneutika
dengan teori-teori modern (misalnya dari A. Naess, seorang filusuf Norwegia).
Teori-teori argumentasi pun meneliti percakapan antar manusia, serta proses
berjalannya percakapan itu. Namun, berlainan dengan hermeneutika, teori
argumentasi mengandalkan bahwa kedua lawan bicara mempunyai titik pangkal atau
dasar bersama. Bila lawan bicara tidak dapat lagi saling mengerti, atau
komunikasi mulai terganggu, maka lacak dimana itu mulai terjadi, sambil
bertitik tolak dari dasar yang sama. Masalah yang dihadapi hermeneutika lebih
mendalam, tujuannya ialah menjembatani jurang antara dua titik pangkal yang
berbeda-beda.
Adapun proses hermeneutika itu (menghayati arti dari
dalam jalan pikiran orang lain), tidak hanya berguna untuk menafsirkan
teks-teks atau maksud seorang berbicara. Bermakna sekali menghayati dari dalam
jalan pikiran orang lain, kalau kita ingin mengerti, mengapa ia berbuat seperti
ini dan itu.
Maka dari itu, istilah hermeneutika
dapat dipergunakn dalam dua arti :
a)
Menafsirkan teks-teks dimasa silam.
b)
Menerangkan perbuatan seorang pelaku sejarah.
Menurut arti pertama, kita melihat suatu kesatuan atau
suatu koherensi dalam sebuah teks, sedangkan menurut arti yang kedua kita
memberi jawaban terhadap pertanyaan, mengapa seorang pelaku historis berbuat
demikian. Dalam interpretasi teks-teks, kita seolah-olah mengatasi masa silam
serta bahan sejarah, agar mengambil suatu pendirian dari mana kita dapat
melihat kesatuan dan kebertautan. Dalam kasus kedua, kita menggunakan bahan
sejarah agar lebih dalam menyelami masa silam.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa di Jerman,,
hermeneutika interpretative menjadi pusat perhatian. Seperti telah kita lihat
itu sudah berlaku bagi ahli hermeneutika Jerman terkemuka pada abad ini, ialah
H.G. Gadamer. Dalam karya Dilthey. Kita melihat suatu pembauran antara kedua
bentuk hermeneutika, sekaliun yang dititik beratkan ialah penafsiran teks.
Seorang peneliti sejarah memang harus menafsirkan masa silam dengan menunjukan
kesatuan dan koherensi, tanpa keharusan menerima cara kerja seseorang yang menafsirkan
teks-teks. Itulah pendirian historisme dan narativisme.
Dalam dua aliran tersebut kita tidak lagi diusahakan
masuk ke dalam kulit seorang pengarang atau seorang pelaku sejarah, aupun
menimba dari pengalaman hidup sendiri. Selain penghayatan dari dalam dan
menimba dari pengalaman hidup sendiri, masih ada dua ide pokok lain dalam
hermeneutika yang menyebabkan pendektan ini berbeda dari CLM. Menurut
hermeneutika, terdapat satu bidang penelitian ilmiah yang menuntut
diterapkannya metode ilmiah-eksak dari CLM di satu pihak dan bidang penelitian
yang menuntut pendekatan hermeutis, di lain pihak, yaitu perbuatan manusia
seperti diteliti seorang ahli sejarah. Padahal, menurut para penganut CLM,
modul penelitian yang satu dan sama, yaitu CLM, berlaku dan berguna pada semua
bidang penelitian. Perbedaan kedua antara hermeneutika dengan CLM, ialah
kedudukan si ahli sejarah, selaku subjek yang mengetahui dalam hermeneutika.
Dalam CLM, subjek hampir tidak memainkan peranan. Dalam ilmu eksakta, pribadi
peneliti bahkan diabaikan. Pada abad ke-16 Bacon sudah berkata “mengenai diri
kami sendiri, kami menahan diri”. Dalam hermeneutika, pribadi peneliti penting
sekali karena ditimba dari pengalaman hidup peneliti sejarah sendiri.
2.3.2.2
Hermeneutika di Jerman (Dilthey dan Gadamer)
Tokoh terpenting dalam sejarah hermeneutika adalah
Wilhelm Dilthey (1833-1911). Dilthey ingin berbuat bagi “ilmu-ilmu rohani”
(ilmu budaya manusia), khusus bagi sejarah, apa yang dibuat Kant bagi ilmu-ilmu
eksakta. Dilthey memusatkan perhatiannya pada pengalaman kita tentang dunia
historis. Karya Dilthey yang bagi kita penting ialah buku karyanya pada pada
tahun 1911, Der Audbau der
geschichtlichen Welt in den Geisteswissenschaften (susunan dunia sejarah
menurut ilmu-ilmu budaya). Karena Dilthey sering mengulagi
pendapat-pendapatnya, lagi pula menulis dengan gaya yang tidak jelas, maka buku
ini bukan bacaan untuk waktu senggang. Ide-ide Dilthey berkisar pada tiga
konsep inti, ialah “Erlebnis”, “Ausdruck”, dan “Verstehen”. Pengalaman mengenai dunia hidupku yang ditentukan oleh
prses timbal balik itu, pengalaman dalam arti sejati Dilthey, disebut
“Erlebnis”. Dalam analisis Dilthey mengenai “Erlebnis” itu , kita melihat
pengaruh interpretasi teks yang merupakan awal hermeneutika (Schleiermacher).
“Ausdruck” (ungkapan), selalu merupakan objektivasi mengenai kebertautan atau
koherensi dalam erlebnis. Seorang peneliti sejarah dapat merekonstruksi
(Nachbildung) erlebnis-erlebnis seorang pelaku sejarah, bila ia sambil
menggunakan pengalaman hidup sendiri. Mengaktualkan kembali keadaan-keadaan
yang dahuu meliputi si pelaku sejarah ketika ia berbuat, merasakan emosi-emosi
dan sebagainya. Seorang ahli sejarah seolah-olah harus mementaskan kembali, di
atas panggung batinnya, pengalaman dan proses-proses psikologis dan intelektual
yang dahulu dirasakan seorang pelaku sejarah.
Bila seorang peneliti sejarah telah merekonstruksi
kembali, dalam batinnya sendiri pengalaman-pengalaman seorang pelaku sejarah
sambil mempergunakan pengalaman hidupnya sendiri, maka ia mampu memahami
(verstehen) perbuatan dan pikiran pelaku sejarah itu. Untuk sebagian, seorang
peneliti sejarah telah membuat copy atau rekaman mengenai kesatuan dan
kebertautan dalam pengalaman yang demikian khasbagi seorang pelaku sejarah.
Tidak perlu dijelaskan bahwa proses verstehen itu tidak dapat diterapkan pada
bidang ilmu eksakta. Maka dari itu, Dilthey melawankan “verstehen” yang berlaku
dalam ilmu-ilmu budaya dengan “erklaren” (menerangkan) yang berlaku dalam
ilmu-ilmu alam, yang berdasarkan pola-pola hukum umum. Erklaren selalu terbatas
pada gejala-gejala yang bersifat lahiriah, dapat diamati. Sedangkan seorang
peneliti sejarah, mampu menyelami batin kenyataan historis. Bentuk pengetahuan
yang diperoleh dari Verstehen lebih lengkap dari pada Erklaren. Verstehen itu
baru mungkin, bila bila sebelumnya kita sudah tahu sedikit mengenai dunia
pengalaman seorang pelaku sejarah.
Secara singkat, pandangan Dilthey dapat diringkas
sebagai berikut: Manusia yang hidup dalam arus sejarah, terbenam dalam dunia
penuh arti. Setiap bagian dari dunia sejarah itu, merupakan ungkapan (ausdruck)
mengenai pikiran dan perbuatan manusia dan oleh karena itu, menjadi pengemban
arti. Hermeneutika Dilthey selalu bergerak antara tiga patokan yaitu: Erlebis,
Ausdruck, dan Verstehen.
Hans Georg Gadamer lahir pada tahun 1900 di
Heidelberg. Tahun 1960 Gadamer menerbitkan buku Wahrheit und Methode (kebenaran
dan metode). Salah satu karya filsafat yang paling monumental abad ini. Gadamer
secara tegas menolak pendekatan teori pengetahuan atau pendekatan modis.
Selaras dengan pandangan Heidegger, Gadamer tidak memandang hermeneutika
sebagai salah satu untuk memperoleh sebuah pengetahuan. Melainkan sebagai ciri
khas dalam kehidupan manusia dan ekosistemnya. Gadamer memindahkan bidang
penelitian hermeneutika dari kawasan teori pengetahuan ke kawasan ontologi.
Maka dari itu, konsep pengalaman harus ditinjau kembali. Dalam bidang sains
pengalaman atau empiri dapat didefinisikan sebagai pengalaman mengenai
data-data yang ada dalam kenyataan, lalu diungkapkan dalam bahasa.
Gadamer menolak untuk memisahkan dunia dan bahasa.
Maka dari itu, bahasa, kenyatan, dan pengalaman menyatu. Pengalaman tidak
mencerminkan dunia dalam bidang parallel yang disebut bahasa, melainkan
terus-menerus terarah dan terserap oleh terpintalnya dunia dan bahasa. Dalam
pengalaman kita mengenai kenyataan sosial historis, pengalaman tak pernah
merupakan suatu jepretan seperti dalam ilmu eksakta, melainkan suatu proses
yang meliputi waktu tertentu, akibat penyatuan bahasa, kenyataan dan
pengalaman. Selama proses itu, bagian-bagian yang relevan dalam pengetahuan,
ingatan, harapan, dan emosi kita, diaktifkan menjadi pengalaman. Ontologi
hermeneutis, hendaknya menggantikan teori pengetahuan hermeneutis.
Penolakan Gadamer, terhadap teori pengetahuan dan
metode agar memberi tempat kepada kepada ontologi, mempunyai konsekuensi
penting yang sebetulnya merupakan konsep pokok yang mendasari hermeneutiknya.
Setiap analisis yang didukung oleh suatu teori pengetahuan dan/atau suatu
metode tertentu yang meneliti bagaimana pengetahuan pada umumnya diperoleh dan pengetahuan
sejarah pada khususnya, berdasarkan gagasan, bahwa pengetahuan dapat deperoleh
oleh seorang subjek yang tahu, subjek ini pada prinsipnya dapat diganti oleh
subjek lain, asal ada suatu metode tertentu untuk meraih suatu pengetahuan yang
dapat diterima siapa saja.
Dengan mendasarkan pengalaman hermeneutika tidak pada
teori pengetahuan, melainkan pada ontologi, maka gardener sampai pada
pendirian, bahwa setiap pemahaman hermeneutis mengenai masa silam, terkait akan
dan bertaut dengan individualitas si peneliti. Memahami selalu terjadi dalam
cakrawala pemahaman. Unsur revolusioner pandangan ini, ialah praduga seorang
peneliti sejarah serta tradisi-tradisi yang diterimanya dengan sadar atau tidak
sadar, tidak merupakan penghalang, melainkan justru syarat mutlak agar
Verstehen itu berhasil baik. Tidak mengherankan, bahwa penghargaan gadamer bagi
tradisi, praduga, serta otorita yang terwujud dalam praduga itu menimbulkan
reaksi-reaksi.
2.3.2.3
Hermeneutika di Inggris dan Amerika
R.G Collingwood (1889-1943), seorang ahli arkeologi
dan filusuf sejarah berkebangsaan Inggris, sebetulnya ironis bahwa Collingwood
umum dipandang sebagai juru bicara pendirian hermeneutis yang klasik, karena
titik pangkalnya berada dilain tempat.
Hermeneutika yang dikembangkan Collingwood, jelas dan
sederhana. Ia mulai menetapkan bahwa perbedaan pokok antara pengkajian sejarah
dan ilmu-ilmu eksakta, terletak dalam kenyataan, bahwa seorang peneliti sejarah
tidak hanya berurusan dengan kelakuan lahiriah objek penelitiannya, melainkan
juga dengan batin kelakuan mereka. Oleh karena itu, Collingwood berpendapat
bahwa semua sejarah merupakan sejarah alam pikiran. Collingwood menggarisbawahi
bahwa “re-enactement” itu bukanlah hasil intuisi penelitian sejarah yang tak
dapat dikontrol. Peneliti sejarah hendaknya selalu penuh imajinasi, ia harus
pandai mengadakan ekstraplorasi dan intraplorasi, menurut pandangannya sendiri,
tetapi “re-enactment” itu merupakan suatu proses yang dapat diikuti setapak
demi setapakoleh kritik sejarah dan juga dapat dinilainya.
W.H. Dray , seorang filusuf Kanada yang terpengaruh
Collingwood. Ini antara lain Nampak dari contoh berikut, bagaimana Dray
menerangkan suatu kejadian dalam sejarah. Namun, ada suatu perbedaan pokok
antara Collingwood dengan Dray. Yang mutlak perlu bagi Collingwood, ialah
pikiran tokoh sejarah dan duplikatnya dalam pikiran peneliti sejarah, tapat
sama. Tuntutan itu dilepaskan Dray, ia hanya minta suatu rekonstruksi yang
didukung alas an kuat dan bahan bukti mengenai apa yang dapat dipikirkan
seorang tokoh sejarah. Dray hanya meminta supaya disebut, apa yang dapat
dipandangsebagai alas an bagi seorang tokoh sejarah, supaya ia berbuat begini
atau begitu.
2.3.2.4
Kritik Terhadap Hermeneutika
Kita harus membedakan hermeneutika sebagai penafsiran
teks-teks dan hermeneutika sebagai suatu teori guna menerangkan, secara
historis, perbuatan seorang pelaku sejarah. Maka dari itu, keneratan-keberatan
terhadap hermeneutika, dapat dijadikan dua kategori.
a) Adakah
hermeneutika itu berawal dari Descartes? Rene Descartes (1596-1650) seorang
filusuf Prancis, berpendapat bahwa manusia terdiri dari dua unsur yang
berbeda-beda, yaitu jiwa dan tubuh, atau seperti yang diungkapkannya sendiri
yaitu roh dan keterbentangan.
Ternyata,
hermeneutika sering jelas sama sekali tidak setuju dengan pandangan Descartes.
Dalam butir b pasal ini kita akan berkenalan dengan suatu bentuk hermeneutika
yang diilhami oleh teleologi (trarah pada tujuan) yang bahkan membela suatu
hubungan logis antara pikiran dan perbuatan antara “segi dalam” dan ”segi
luar”.
b) Adakah
hermeneutika mengadaikan CLM? Penjelasan hermeneutika berbentuk demikian.
(1) Dalam keadaan
historis k, seorang pelaku sejarah mengembangkanpikiran atau motvasi p.
(2) Perbuatan b serasi
dengan pikiran atau motivasi p.
Nilai hemeneutika terbatas pada heuristic, artinya
hanya merupakan sarana agar kita dpat sampai pada suatu dugaan mengenai
kenyataan. Jelaslah, bahwa keberatan yang diajukan terhadap hermeneutika dari
sudut CLM, juga dapat diajukan terhadap action
rationale explanation ala Dray. Ia mengusulkan agar membedakan:
(1). Usaha membenarkan perbuatan-perbuatan kita
(dengan menyebut alas an-alasan kita);
(2) Melacak
alas an yang sebenarnya yang melatar belakangi perbuatan kita.
Pembelaan Dray tidak meyakinkan penganut CLM. Mereka
setuju, bahwa kita ingat akan alasan bagi suatu perbuatan, maka pada dasarnya
kita hanya menentukan suatu peristiwa dari masa silam dan tidak menerapkan
pola-pola hukum umum. Dalam model penjelasan teologis yang pertama-tama
diusahakan ialah memberi bentuk yang terinci kepada proses penghayatan
hermeneutis. Bila seorang pelaku sejarah memutuskan untuk melakukan sesuatu,
maka yang terjadi ialah:
(1) Ia menetapkan bahwa ia sedang dalam
situsai S.
(2) Keadaan S itu memberinya alas an utuk
mengadakan perubahan-perubahan tertentu dalam S (atau memberi reaksi lain
kepada S).
(3) Pelaku sejarah berpendapat, bahwa
perbuatan P merupakan sarana yang paling tepat untuk mengadakan perubahan itu
dalam S.
Peneliti sejarah menerangkan perbuatan seorang pelaku
sejarah dengan memperhatikan tujuan yang diharapkan. Kemiripan antara modul
penjelasan teologis dengan hermeneutika, jelaslah sudah. Juga dalam penjelasan
teologis, penghayatan dan acuan kepada pengalaman hidup pribadi, akan melatarbelakangi
pendapat seorang peneliti sejarah mengenai cara seorang pelaku sejarah
mengaitkan tujuan dan sarana.
c) Jangkauan hermeneutika yang terbatas. Keberatan
utama yang dapat diajukan terhadap penjelasan hermeneutis ialah jangkauannya
yang terbatas. Baik penjelasan hermeneutis maupun penjelasan teologis,
memperlihatkan dua kekurangan.
d) Hermeneutika kurang
memiliki kesadaran historis. Akhirnya hermeneutika, sama dengan CLM, dapat
dipersalahkan karena kurang memiliki kesadaran historis. Penghayatan
mengandaikan, bahwa cara seorang peneliti sejarah menanggapi keadaan dalam
lingkungannya, pada pokoknya samadengan cara seorang pelaku sejarah bereaksi
terhadap lingkungannya. Baru, bila pelaku sejarah mengaitkan keadaan, pikiran
dan perbuatan sama dengan seorang peneliti sejarah maka pendekatn hermeneutis
membuka jalan untuk menerangkan perbuatan seorang pelaku sejarah. Tetapi
hendaknya kita ingat, bahwa seorang peneliti sejarah justru meneliti masa
silam, karena adanya perbedaan antara masa kini dan masa silam. Ini berarti
bahwa seoran gpeneliti sejarah, pada prinsipnya, tidak menaruh minat terhadap
pikiran dan perbuatan seorang pelaku sejarah.
2.3.2.5
Masa silam sebagai teks
Yang merupakan ciri khas dari bentuk hermeneutika
ialah aksioma, bahwa dunia sosio-historis merupakan sesuatu dunia yang penuh
arti. Oleh karena itu, para filusuf
sejarah dari tradisi strukturalis, sering menyarankan untuk mempelajari masa
silam, seolah-olah itu merupakan suatu teks. Pendekatan ini merupakan suatu
bentuk hermeneutika yang serba baru, yang tidak lagi dapat di kritik dengan
alasan-alasan yang diajukan dalam pasal diatas tadi.
Karangan H. white Metahistory(1973), mrupakan suatu
usaha yang paling menonjol dalam mengembangkan suatu filsafat sejarah seperti
dilukiskan diatas tadi. Bagi White, masa silam merupakan sebuah teks prosa,
lagipula sebuah teks yang belum kita mengerti atau mudah sekali keliru
mengerti. Adapun tugas seorang ahli sejarah adalah menafsirkan teks (historis),
atau menjadi “puisi” penulisan sejarah. Seorang ahli sejarah harus belajar
mengidentifikasikan unsur-unsur masa silam yang berdiri sendiri (leksion)
kemudian membuat daftar (gramatika) bagaimana unsur-unsur itu terkait dalam
keseluruhan yang lebih luas (sintaksis), sehingga akhirnya dapat mengatakan
yang sebenarnya (semantik) dari suatu segi (bagian) dalam masa silam. Adapun menurut
White, empat bentuk gaya bahasa yang membuka jalan untuk menerjemahkan prosa
menjadi puisi penulisan sejarah, yaitu metafora, sinekdoke, metomini, dan
ironi.
Setiap gaya bahasa menyebabkan suatu integrasi atau
disintegrasi yang khas, bagi unsur masa silam di dalam penuisan sejarah. Contoh
yang diajukan White mengenai penulisan gaya metafora ialah” Kekasihku merupakan
sekuntum bunga mawar”. Kemiripan menyangkut hakikat seorang kekasih dan
sekuntum bunga mawar, keduanya indah dan elok.
Adapun sinekdoke adalah suatu gaya bahasayang juga
ingin mengungkapkan hakikat sesuatu, tapi berbeda dengan metafora, karena tidak
menssejajarkan dua hal yang berbeda-beda. Adapun metomini mirip dengan
sinekdoke, namun tidak terpusat pada hakikat gajala historis, melainkan pada
aspek-aspek kejadian masa silam yang memperlihatkan kebertautan di dalam sebuah
struktur yang sekarang kita terapkan pada masa silam. Penulis sejarah ironis,
menurut White adalah penulis yang memperlihatkan pengertian, bahwa setiap
gambaran yang kita miliki mengenai masa silam, menurut arti tertentu juga
menyangkal dirinya.
White menekankan bahwa pilihan seorang sejarawan
terhadap salah satu gaya bahasa itu merupakan pilihan yang tidak dapat didukung
oleh akal budi. Karena keempat gaya bahasa itu tidak mempunyai dasar yang sama,
sehingga secara objektif tidak dapat disbanding-bandingkan. Kedua, di dalam
system White, gaya penulisan ironis menimbulkan beberapa kesukaran. Oleh White
gaya tulisan ironis disebutnya gaya bahasa meta, artinya dengan gaya ini, kita
dapat melihat kemungkinan dan keterbatasan gaya-gaya bahasa lainnya.
2.3.3.Kausalitas
2.3.3.1
Sebab-sebab dan keterangan-keterangan
Para peneliti sejarah bertanya mengenai sebab-sebab
dan keterangan-keterangan, bila berhadapan dengan proses-proses perubahan.
Bahkan juga mereka bertanya, mengaa sebuah proses perubahan bertentangan dengan
dugaan umum, maka yang menjadi pokok permasalahan ialah perubahan-perubahan.
Maka dari itu, dalam pengkajian sejarah pengertian-pengertian seperti
perubahan, sebab, dan keterangan berkaitan erat dengan yang lain. Maka dari itu, dapat diduga juga, bahwa
pengertian sebab dapat dipahami menurut dua macam arti. Pertama, sebab sebuah
peristiwa P ialah sebuah peristiwa lain, O, dan ini demikian rupa, sehingga
deskripsi mengenai kedua peristiwa itu dapat dikaitkan pada pola hukum umum
pila. Kedua yang menyebabkan suatu peristiwa yaitu intensi atau motif seorang
pelaku historis untuk mengakibatkan peristiwa itu.
2.3.3.2
Berbagai jenis Sebab
Pendirian John Stuart Mill (1806-1873),
mengenai kausalitas. Bagi dia, penyebab P ialah keseluruhan peristiwa, keadaan,
dan perkembangan dan sebagainya yang mendahului P. ini dapat disebut sebab total bagi P. konsep sebab total
ini dari sudut filsafat, mungkin memuaskan, akan tetapi dalam praktek, kita
harus melacak sebab-sebab sebuah peristiwa, kita akan dihadapkan pada
kesukaran-kesukaran yang tak teratasi. Perbedaan antara syarat yang cukup dan
syarat yang mutlak perlu (istilah syarat, kondisi, atau kondisi awal selalu
sinonim dengan sebab).
A merupakan syarat yang cukup bagi B
bila:
a)
B selalu muncul setelah A terjadi.
b)
Terdapat syarat-syarat lain pula selain A untuk mengakibatkan B.
A merupakan syarat mutlak bagi B
bila:
a) A selalu mendahului B.
b) A sendiri saja tidak cukup untuk
mengakibatkan B.
Berdasarkan simetri antara syarat
cukup dan syarat mutlak, kita dapat menyimpulkan, bahwa A merupakan syarat
cukup bagi B, maka B merupakan syarat mutlak bagi A, dan sebaliknya. Kedua,
kita mencatat bahwa menyebut syarat cukup lebih sukar bagi seorang peneliti
sejarah daripada syarat mutlak hanya merupakan satu diantara syarat-syarat yang
diperlukan untuk untuk mengakibatkan sesuatu. Syarat cukup sebaliknya meliputi
sejumlah besar sebab, sehingga akibatnya pasti terjadi. Akan tetapi, seorang
peneliti sejarah hampir tidak pernah menerangkan suatu peristiwa atau
perkembangan dari masa silam menurut syarat-syarat yang cukup. Agar peristiwa
itu sungguh terjadi, harus dipenuhi juga sejumlah syarat lain yang tidak
terinci. Mau tidak mau, seorang sejarawan tidak ada pilihan lain, ia hanya
dapat meneruskan pelacakannya, mencari syarat mutlak itu dengan seobjektif dan
seteliti mungkin.
2.3.3.3
Abnormalisme
Teori abnormalisme didukung oleh pengalaman kita
bersama. Kita baru menanyakan mengenai sebab sesuatu, bila bila terjadi sesuatu
yang mencolok, yang mengherankan, yang “”tidak normal”. Demikian juga yang
terjadi dalam pengkajian sejarah. Para sejarawan tidak menanyakan mengenai
sebab-sebab, selama hegenmoni Eropa tidak diganggu gugat. Baru bila Eropa
kehilangan hegemoninya mereka baru bertanya apa sebabnya.
Tidak perlu diterangkan bahwa keterangan-keterangan
abnormalis selalu bersifat nisbi. Peristiwa-peristiwa yang ditunjuk sebagai
syarat mutlak bagi suatu peristiwa yang harus dijelaskan, selalu dapat
dikaitkan dengan pendirian seseorang yang ingin menerangkan peristiwa itu. Dan
pendirian-pendirian itu dapat berbeda-beda. Seorang sejarawan terikat akan
nilai-nilai yang dianutnya dan menyeleksi syarat-syarat mutlak, hendaknya
jangan ditafsirkan, bahwa dengan demikian pernyataan-pernyataan kausal lalu
juga digoncangkan dalam objektivitasnya.
2.3.3.4 Keberatan - Keberatan Terhadap Prinsip
Kausalitas
a)
Jangkauannya
Jangkauan keterangna kausal terbatas. Sebetulnya ini
tidak langsung menyerang prinsip kausalitas, hanya menisbikan nilai keterangn
kausal bagi pengkajian sejarah.
Dray mengatakan bahwa keterangn-keerangn historis
tidak selalu menjawab pertanyaan “mengapa” (apa sebabnya), tetapi sering juga
pertanyaan “bagaimana”. Lebih radikal dari pada Dray adalah Oakeshott. Bagi
Oakeshott, semua pertanyaan mengenai sebab sebetulnya mengenai pertanyaan
“bagaimana”. Pertanyaan itu harus dijawab dengan menyebut beberapa fakta yang
melenyapkan rasa heran kita, jadi tidak dengan menyebut bebrapa pola dan sebab
hukum umum. Menurut Porter, proses-proses perubahan yang dipelajari seorang
sejarawan dan yang ingin diterangkannya, hendaknya kita lihat sebagai
perubahan-perubahan dalam bentuk. Masa silam terus menerus mengalami
metamorfosa, sama seperti dalam proses evolusi tumbuhan dan hewan yang
menapilkan bentuk-bentuk baru.
b)
Memisahkan sebab dan akibat
Sebab dan akibat merupakan peristiwa-peristiwa,
perkembangan-perkembangan dan sebagainya, di dalam kenyataan jistoris sendiri
dengan mempergunakan logat kausal, seolah-olah masa silam tersusun dari
sejumlah atom peristiwa. Atom-atom peristiwa itu dipelajari dan
diidentifikasikan oleh seorang peneliti sejarah dan akhirnya dia dapat
menunjukan suatu hubungan antar atom-atom tersebut. Akan tetapi demikian
Mandelbaum, kia membeda-bedakan dalam dan dengan bantuan bahasa. Baru setelah
kita memahirkan bahasa (sebab akibat), kita membedakan antara sebab dan akibat.
Tetapi bahasa dan kenyataan historis merupakan dua hal yang berlainan, oleh
sebab itu, pengalihan itu tidak
dihalalkan. Oleh karana itu tidak ada sebab untuk mengandaikan, bahwa peristiwa
masa silam dapat dipisahkan seperti konsep sebab akibat di dalam bahasa.
c)
Sebab dan CLM
Kita telah lihat bahwa dipergunakannya logat
kausalitas mengandaikan penerimaan CLM. Keeratan-keberatan yang diajukan
terhadap CLM sekaligus dapat dipandang juga sebagai keberatan terhadap
keterangan kausal.
2.3.4
Model eksplanasi Sejarah menurut
Helius Sjamsudin
Sedangkan menurut Helius
Sjamsuddin, dalam bukunya Metodologi
Sejarah 1996. Beliau membagi metode-metode dalam eksplanasi sejarah dalam 5 metode
diantaranya adalah kausalitas,Hermeneutika,
CLM, Analogi dan Motivasi.
1.
Kausalitas
Model kausalitas berupaya
menjelaskan peristiwa sejarah dengan merangkaikan berbagai fakta dalam sintesis
hubungan sebab akibat (cause-effect). Hukum
sebab akibat (law of causation) menunjukkan
bahwa setiap fenomena merupakan akibat dari sebab sebelumnya. Kajian sejarah
adalah kajian tentang sebab-sebab dari suatu peristiwa terjadi sehingga hampir
merupakan aksioma atau kebenaran umum. Dalam perkembangannya, hukum jausalitas
dianggap ketinggalan karena memiliki tendensi deterministik. Alternatif
terhadap hukum kausalitas adalah pendekatan fungsional.
Penjelasan dalam hukum kausalitas
dimulai dengan mencari sejumlah sebab untuk peristiwa yang sama. Sebab-sebab
yang banyak tersebut disebut kemajemukan sebab (multiplicity
of causes). Dalam konteks ini, setiap sebab memiliki kedudukan
sama penting. Langkah selanjutnya adalah menganalisis sebab-sebab untuk
kemudian mendapatkan penyebab utama (the ultimate cause),sebab
dari semua sebab (cause of all causes).
Kaitannya dengan kemajemukan sebab,
muncul persoalan determinisme dalam sejarah (determinism in history) dan
kebetulan dalam sejarah (chance in history).
Ahli filsafat Hegel dianggap sebagai peletak dasar filsafat sejarah
determinisme. Kritik terhadap determinisme adalah dianggap mengabaikan kemauan
bebas (free will) manusia. Determinisme dianggap
bertentangan dengan adanya penyebab majemuk atau multikausal.
Sementara itu, kebetulan sejarah
menganggap pertemuan atau benturan antar sebab dalam peristiwa sejarah sebagai
sebuah kebetulan. Kebetulan yang kemudian mengubah jalannya sejarah. Teori
kebetulan mendapat kritik karena dianggap melebih-lebihkan. Penganut teori ini
dianggap malas melakukan penelitian, kemalasan inteletual (intellectual laziness) atau vitalitas yang rendah(low intellectual vitality).
Dalam melakukan rekonstruksi
sejarah, tidak semua fakta otomatis menjadi fakta sejarah. Fakta-fakta masa
lalu baru menjadi fakta sejarah jika sejarawan memilihnya karena dianggap
mempunyai hubungan (relevansi)dan berarti (signifikansi) dengan apa yang
diteliti. Hal yang sama juga berlaku bagi penganut multikausal dalam peristiwa
sejarah. Susunan sebab-sebab, signifikansi serta relevansi antar satu sebab
atau serangkaian sebab dengan yang lainnya merupakan esensi penafsiran sejarah.
2. Covering Law
Model (CLM)
Sebagian besar ahli filsafat sejarah
analitis mencoba memaksakan pengetahuan sejarah ke dalam suatu formula hukum
umum (general law), suatu pernyataan dari bentuk
kondisi universal yang sanggup dikonfirmasi atau dibantah berdasarkan
bukti-bukti empiris yang sesuai. Penganut CLM berpendapat bahwa setiap
penjelasan dalam sejarah harus dapat diterangkan oleh hukum umum(general law) atau hipotesis universal (universal hypothesis) atau hipotesis dari bentuk
universal (hypothesis of universal form).
Menurut teori CLM, tidak ada
perbedaan metodologis antara ilmu alam dengan sejarah. Penjelasan sejarah diperoleh
dengan menempatkan peristiwa-peristiwa itu di bawah hipotesis, teori, atau
hukum umum. Penjelasan diperoleh dengan cara mendeduksikannya dari
pernyataan-pernyataan tentang hukum-hukum umum dan kondisi-kondisi awal.
3. Hermeneutika
Hermeneutika boleh dibilang menjadi semacam antitesis
terhadap teori CLM. Hermeneutika menekankan secara jelas antara ilmu alam
dengan ilmu kemanusiaan. Penganut hermeneutika berpendapat bahwa perbuatan
manusia hanya bisa diterangkan dengan kajian edografik (kekhusunan, partikularistik)
daripada nomotetik (keumuman, generalistik).
Pengertian hermeneutika erat hubungannya dengan
penafsiran teks-teks dari masa lalu dan penjelasan pelaku sejarah. Sejarawan
mencoba menjelaskan masa lalu dengan mencoba menghayati atau dengan empati, menempatkan
dirinya dalam alam pemikiran pelaku sejarah. Hermeneutika mencoba memasuki diri
pelaku dan berupaya memahami apa yang dipikirkan, dirasakan, dan diperbuat
pelaku sejarah. Ada semacam dialog batin antara batin sejarawan yang
menggunakan pengalaman hidupnya sendiri dengan sumber-sumber sejarah yang
digunakan.
4. Model
Analogi
Masih terjadi perdebatan di antara para pakar tentang
analogi sebagai eksplanasi sejarah. Namun bagi penganutnya, analogi merupakan
alat eksplanasi yang sangat berguna. Analogi berperan penting dalam proses
kreativitas intelektual. Analogi dapat berperan ke dalam maupun ke luar. Ke
dalam, analogi dapat meningkatkan suatu yang tidak disadari atan inferensi awal
ke tingkat rasionalitas dalam pikiran. Ke luar, analogi bekerja sebagai wahana
mengalihkan pikiran seseorang kepada orang lain.
Meskipun demikian, penggunaan analogi dalam eksplanasi
sejarah berpotensi menimbulkan kekeliruan. Karena itu, para sejarawan dituntut
lebih selektif dalam menggunakannya. Analogi, meskipun suatu alat untuk
menjelaskan peristiwa sejarah, kedudukannya hanya alat bantu (auxiliary) dalam pembuktian.
Analogi juga berkaitan dengan metafora. Sejarawan yang
menggunakan metafora dalam penjelasannya kerap menggunakan analogi. Beberapa
contoh metafora sejarah antara lain: (1) Machiavellian, diambil
dari nama Niccolo Machiavelli untuk menggambarkan doktrin politik seseorang
yang menggunakan berbagai cara untuk mencapai tujuan politiknnya;
(2) Cut the Gordian Knot, dari
nama Raja Gordius dari Phrygia kuno untuk menggambarkan penggunaan cara-cara
drastis tanpa bersusah payah; (3) Pyrrhic victiry, dari
nama raja Pyrrhus dari Epirus untuk menggambarkan sebuah kondisi di mana
kemenangan perang diperoleh dengan kerugian besar. Sejarawan menggunakan
istilah ini untuk menggambarkan perjuangan seseorang untuk mendapatkan sesuatu
dengan kerja keras sampai kehabisan daya; (4)Carthaginian Peace, dari
nama Kartago di Afrika Utara. Penghancuran Kartago yang dilakukan Romawi untuk
menghindari kebangkitan sebuah kekuatan. Sejarawan menggunakan metafora ini
untuk menggambarkan politik bumi hangus sebagai reaksi atas kekhawatiran
munculnya kekuatan lain.
5. Model
Motivasi
Eksplanasi model motivasi dibagi atas dua bagian. (a)
Bentuk eksplanasi kausal, di mana akibat merupakan suatu perbuatan yang
inteligen, sedangkan sebab merupakan pikiran di belakang perbuatan itu; (b)
Bentuk tingkah laku yang berpola. Pada dasarnya, model ini menekankan
penggunaan pendekatan psikohistori yang berpijak pada teori psikoanalisis dari
Sigmund Freud. Kelemahan pendekatan ini terletak pada keterbatasan-keterbatasan
metode psikoanalisis sendiri, selain prosedur historiografis yang kurang
memadai.
BAB III
PENUTUP
3.1.
KESIMPULAN
Eksplanasi
adalah suatu proses yang menunjukkan peristiwa-peristiwa tertentu dihubungkan
dengan peristiwa-peristiwa lain melalui penggunaan secara tepat
pernyataan-pernyataan yang bersifat umum (general statements)
Deskripsi
dan eksplanasi kerap dipersamakan. Padahal, keduanya memiliki perbedaan.
Deskripsi merupakan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan faktual dalam peristiwa
sejarah, meliputi apa (what), di mana (where), kapan (when), dan
siapa (who). Jawaban dari pertanyaan tadi merupakan deskripsi faktual
tentang sebuah peristiwa.
Di sisi lain, eksplanasi merupakan perluasan
pertanyaan faktual untuk mengetahui alasan dan jalannya sebuah peristiwa.
Mengapa (why) dan bagaimana (how)merupakan pertanyaan
analisis-kritis yang juga menuntut jawaban analisis-kritis yang bermuara pada
penjelasan atau sintesis sejarah. Dalam kaitannya dengan deskripsi, eksplanasi
dibangun atas deskripsi-deskripsi faktual karena eksplanasi tanpa deskripsi
adalah fantasi.
Yang dimaksud dengan periodisasi atau
pembabakan waktu adalah suatu proses strukturisasi waktu dalam sejarah berdasar
pada pembagian atas beberapa zaman, babak, atau periode. Peristiwa-peristiwa
masa silam yang begitu banyak dibagi-bagi dan dikelompokkan menurut sifat,
unit, atau bentuk sehingga membentuk satu kesatuan waktu tertentu. Maka, dapat
dikatakan sejarawan melakukan klasifikasi atas waktu, sejarawan membuat
periodisasi.
Model dari eksplanasi sejarah sendiri
cukup bervariasi, di antaranya seperti yang terdapat dalam buku F.R Ankersmit,
terdapat tiga model eksplanasi,yaitu model CLM, Model Hermeneutika, dan
Kausalitas.
Sedangkan menurut Helius Sjamsuddin, dalam
bukunya Metodologi
Sejarah 1996. Beliau membagi metode-metode dalam eksplanasi
sejarah dalam 5 metode diantaranya adalah kausalitas,Hermeneutika, CLM, Analogi dan Motivasi.
DAFTAR PUSTAKA
Ankersmit, F.R. 1987. Judul Asli : Denken Over Geschiedenis.
Eenoverzicht van modern geschiend filosofis cheopvattingen. Diindonesiakan oleh Dick Hartoko, Refleksi
Tentang Sejarah : Pendapat - Pendapat Modern Tentang Filsafat Sejarah. Jakarta
: Gramedia
Sundoro, Mohammad Hadi. 2009. Teka – Teki Sejarah. Jember University Pers
Sjamsuddin,
Helius. 1996. Metodologi Sejarah.
Jakarta: Depdikbud, Proyek Pendidikan Tenaga Akademik Dalam http:// ahmadnajip.wordpress.com/2012/04/10/eksplanasi-sejarah-menurut
helius-sjamsuddin